Mahabbah (cinta)
menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih
khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan
pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani
yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan,
yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau
cinta yang mendalam.
Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan
kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan
yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang
kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada
sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya
lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan
di atas, tampaknya da juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada Tuhan.
Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi
adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan
disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Menurut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun
intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1) Al-Ghazali; mahabbah ialah cinta kepada Allah itu adalah maqom
yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom yang
sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang sebelumnya. Ini
merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.
2) Syekh Jalaluddin; mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat
penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran
melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan
syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta
inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran
syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang
dibenci Allah.
Menurut Syekh Jalaluddin dalam kitabnya “Sinar keemasan”
yang menyatakan bahwa aku telah menyaksikan sendiri kasih sayang Tuhanku. Aku
telah merasakan kesucian cinta-Nya. Karena Ridha dan sayangnya dilimpahkan
nikmat-Nya kepadakau. Ucapan ini menunjukkan bahwa Syekh Jalaluddin mengaku telah sampai pada maqam
terakhir dan derajat yang paling tinggi di dalam suluknya, yakni maqam cinta
dan ridha bahkan telah syuhud (menyaksikan) kasih sayang Tuhannya dan merasakan
ridha-Nya atau dengan kata lain sebagai seorang salik telah sampai pada tujuan
terakhir yang disebut ma’rifat yang sesungguhnya.
3) Al-Palimbani; mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir
dari cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari
ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan
sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih pada Allah tatkala itu, membawa
kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah
Ta’ala.
4) Imam Qusyairi; mahabbah ialah kondisi yang mulia telah
disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah memperma’lumkan
cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt. disifati sebagai yang mencintai
hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan
al-Qusyairi sebagai berikut:
اَلْمَحَبَّةُ
حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ
مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ
الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ
Al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang
seorang hamba mencintai Allah SWT.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu
selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang
diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.
Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang
tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan
al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin
mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
5) Harun Nasution; mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah
cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan.
6) Al-Sarraj; mahabbah mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah
orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif.
a) Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah
dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
b) Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan,
pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang
dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat
kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya
sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan Selalu rindu
pada-Nya.
c) Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat
dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat
yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses
mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya
melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana) pada sifat-sifat
Tuhan itu, dan akhirnya menyatukebal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari
ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh
mahabbah.
7) Abu Ali Dadaq; mahabbah ialah suatu sikap mulia yang
dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah memberitahukan bahwa
Dia mencintai hambaNya dan hambaNya pun harus mencintaiNya.
8) Abu Ya’kub; hakekat mahabbah ialah lupa terhadap kepentingan
sendiri, karena mendahulukan kepentingan Allah swt.
9) Ibnu Qasim; mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan segala
kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk mencintai-Nya
untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati hanya mencintai yang sudah
dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan dirindukanNya. Ia merasa lapang karena
dekat diri kepadaNya. Jadi karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai
Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan karunia Allah swt.
10) Abdullah Tusturi; mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada
Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak
akan tertanam dalam hati, melainkan sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik,
sehingga ia selalu bertaubat kepadaNya.
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa
mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga
yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Tujuannnya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di
atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu
keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
Hal bertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia,
tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik
dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka
mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh
jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh
karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam,
sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah
kepada Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan
dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut
sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah
tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang
dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah
lebih tinggi dari ma’rifah.
ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan di atas? Para
ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia.
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan,
bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir ( سرّ ).
Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam
diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan
Tuhan. Pertama, al-qalb( القلب )
hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح )
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir ( سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir
lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir
bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima
iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan
maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan
hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat
bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan
Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah
Tuhan. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُوْ
نَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَااُوْتِيْتُمْ مِّنَ
االْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya:
Mereka
itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu
urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-Isra’, 17:85).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar